Senin, 07 November 2011

KUTITIP RINDUKU UNTUK AYAH…

                Sepeda motor merah yang sedikit menderita karena kekejaman sang empunya yang membiarkannya tak beristirahat sepanjang bulan berhenti tepat di depan rumah mewah bagi orang-orang yang hidup 30 tahun yang lalu. Matahari belum turun pertanda hari masih senja, aku sedikit lega karena akhirnya dapat melihat rumah tanpa menggunakan lampu. Hari ini untuk kali pertamanya dalam seminggu aku pulang sore. Seperti yang sudah-sudah dilakukan sepulang menuntut ilmu dan berkegiatan, aku melempar tas di atas kumpulan kapuk yang terajut indah. Merabahkan tubuh yang teramat lelah karena seharian mondar mandir mengelilingi jalanan hijrah dari satu tempat ke tempat lain untuk menunaikan tugas. Senang sekali rasanya bisa beristirahat menyaksikan udara sore hari di rumah.
                Tak lama aku teringat, hari ini aku membawa buku yang telah lama kuinginkan. “Melukis Pelangi” begitu judulnya, karya seorang seleb muda bernama Oki Setiana Dewi. Tak tahu apa yang istimewa dengan buku ini tapi dari dulu ingin sekali membacanya, mungkin karena aku mengerti bahwa buku ini adalah catatan hati seorang perempuan yang berjuang menembus kerasnya kehidupan. Beberapa halaman kubaca,belum kutemukan sesuatu yang istimewa lalu aku menemukan satu halaman yang memuat satu gambar yang teramat ku benci, yaa Foto Keluarga. Foto yang menggambaran betapa harmonis dan membahagiakann ketika bisa berapa di tengah ayah ibu dengan senyum yang mengembang. Jangankan dengan baju mewah, kursi baguas, difoto dengan kamera mahal atau di studio professional, dengan alat dan kondisi seadanyapun aku tak dapat melakukannya. Bukan maksud membenci gambar demikian pertanda aku dengki dengan kebahagiaan yang mereka miliki. Namun, aku benci karena aku tak kuasa menahan tangis ketika aku melihat orang-orang berfoto KELUARGA dengan penuh senyum. 21 tahun udara di dunia kuhirup, dan selama itu pula belum pernah aku abadikan kebersamaanku dengan Ayah Ibu dan kedua Kakakku. Mungkin itu bukan sesuatu yang penting, namun menjadi penting ketika kini aku sama sekali tak dapat melakukannya.


                Setelah sebentar melihat foto itu, aku tak kuasa membendung air mata, deras mengalir seolah memang cerminan jeritan hatiku sejak lama. Seketika aku teringat Ayahku yang sudah hamper 1 dekade meninggalkan kami.  Foto lelaki paruh bayadi buku itu mirip sekali dengan Bapak, begitu aku biasa memanggilnya. Senyum mengembang dibawah kumis tebalnya, tatapan mata yang tajam seolah menunjukkan keseriusan dedikasinya untuk anak dan istrinya. Dia bukanlah orang baik, yang selalu membahagiakan kami dengan kata-kata dan action yang indah. Dia adalah orang jahat yang menyiksa kami dengan pola pikirnya, sekali lagi Bapakku adalah orang jahat yang tak pernah menampakkan kasih saying pada anak dan istrinya seolah di depan kami dia hanya pecundang yang menyesakkan dan melelahkan. Tapi dia adalah lelaki terhebat yang pernah kumiliki, yang mendedikasikan hidupnya untuk hajat hidup orang banyak, yang menyembunyikan kasih sayangnya, yang menyakiti tapi begitu harum namanya.
Ayahku, dulu aku teramat masih kecil untuk memahami bagitu banyak hal dalam kehidupan ini. Dulu aku begitu kerdil untuk merengkuh nilai-nilai kehidupan yang kau sematkan dalam setiap ucapan dan perbuatanmu dan dulu pikiranku terlalu dangkal untuk mendiskripsikan umpatan dan tamparanmu. 12 tahun umurku kala itu, tak banyak yang bisa kuperbuat selain menuntut yang kuinginkan. Lalu takdir Tuhan membawaku pada sebuah kenyataan yang pahit tapi itulah yang terbaik, Kau meninggalkan kami, kau pergi dari kami, kau dipanggil mendahului kami, dan kami kehilangan nahkoda sebagai satu-satunya pemimpin dan pengoprasi kapal ini. 
Hanya karena kulihat senyum mengembang di bawah kumis yang tebal itu imajinasiku terbang jauh ke masa dimana Lelaki terhebatku itu masih berada di sampingku, tangisku tak sanggup lagi tertahan. Satu persatu kuingat memori-memori bersamanya yang hanya kurasakan selama kurang dari 12 tahun. Kata-kata kasarnya yang sebenarnya menguatkan, ketangguhannya menyimpan sakit, hobbynya yang sering mengjak jalan-jalan dan mengenalkanku pada tempat-tempat bersejarah di jogja sambil bercerita panjang tentang banyak hal, hobbynya mengantarkanku ke shopping untuk mencari buku-buku pelajaran dan terakhir pesannya sebelum dia pergi “Pita, jangan lupa bikinkan Bapak The kental setiap pagi”.
Tuhanku Maha Mengerti, Dia mengirimkan musibah 10 Januari 2002 dengan mengambil Ayahku terlebih dahulu. Itu pertanda cintaNya kepadaku, dan aku buktikan cintaNya itu setelah selang hamper 9 tahun lamanya, aku mengerti musibah itu adalah anugerah bagiku, mungkin kalau dia masih di sisiku aku tak ubahnya hanya seorang gadis manja yang sombong dan tak mengerti arti dari sebuah perjuangan.
Namun, hari ini teramat dalam rinduku untuknya. Aku ingin merasakan lagi nasehat yang hampir 10 tahun tak pernah kudengar, aku rindu dengan cerita-cerita fiktifnya, aku rindu senyumnya setiap pagi, aku rindu memegang tangannya yang kasar dan aku rindu membuatkan teh pahit kental setiap pagi.  Lalu aku menginginkan yang tak mungkin terjadi saat ini, aku ingin seperti orang lain yang hidup normal utuh ada kasih saying seorang ayah, dilindungi, berdiskusi tetang masa depan, merasakan hadirnya seorang pemimpin yang mengerti bagaimana mengoperasikan kapal ketika akan berlayar, diterjang ombak dan akan bermuara.
Angin aku tahu hembusanmu tak berbatas, bintang aku mengerti sinarmu sempit tapi kau berjulam jutaan dan tersebar di seluruh penjuru dunia dan langit birumu menyelimuti bumi ini.. ku titipkan rindu ini untuk ayahku yang sudah tenang di sisiNya. Sampaikan anak perempuan satu-satunya ini, merindukan kasih untuk melengkapi episode-episode yang kosong sepeningalmu. Katakan padanya jika aku tak akan jadi pecundang yang mengecewakan. Aku akan mencari jalan dimana aku mampu berdiri tegak untuk membuatnya tersenyum girang sekalipun tak pernah ia lihat.
"Ya Allah Ya Rahman… Dunia ini milikmu begitu pula dengan makhluk-makhlukmu, yang telah Kau panggil biarkan tenang di sisiMu tanpa sedikitpun terusik dengan tangisku di sini.. Tuhanku yang Maha Penyayang jaga dia seperti dia menjaga dan mengayomiku sewaktu dia disisiku" begitu doa yang seketika ku panjatkan di depan buku pinjaman dari salah seorang kawan.  Kututup buku itu lalu kuusap air mata yang tumpah di pipiku. Jika aku terpuruk lesu dalam rindu tak bertepi ini, aku juga hanya akan menyerahkan diri pada kondisi dimana hanya terus meratap. Aku harus menjadi yang hebat dalam keterbatasan, aku sadar aku tak dibesarkan dalam keutuhan dan keharmonisan tapi aku harus berjuang untuk menitipkan rinduku pada ayahku agar sampai dia dengar dan mengubah peringai wajahnya yang muram menjadi berseri karena dia tahu anak perempuannya bukan bisa menjadi pribadi yang lebih baik sekalipun tanpa dia arahkan. Ayahku, anak perempuanmu yang ”nakal” ini akan terus berusaha membangun kesejukan dan perubahan, sekalipun kecil akan kumulai dari merubah diriku. Ayahku tunggu hingga nanti aku mengenakan toga, dengan lebel tamahan nama di belakang sesuai impianmu yang belum terwujud hingga kau menutup mata.
 Jogjakarta, 7 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar